Covid-19 masih ada!
Pandemi belum berakhir!
Tentunya tagline itu banyak berseliweran dikeseharian kita. Terlepas percaya atau tidak, pokoknya mengingatkan.
Sejak awal kemunculan sampai sekarang berbagai dampak yang dirasakan masyarakat sangat terasa. Terutama hantaman ekonomi. Mau melakukan apapun sangat kepayahan dibuatnya.
Pun demikian perihal kesehatan. Masyarakat sampai tidak mau pergi memeriksakan kesehatan meskipun badan tidak karuan rasanya. Mending diobati, dengan cara, sendiri dari pada dikarantina. Penyakit yang satu ini menjadi momok bagi masyarakat.
Dalam dunia pendidikan, sangat terasa pula dampaknya. Awal pandemi, harus melakukan pengosongan wilayah sekolah. Seluruh peserta didik harus di rumah. Tidak ada aktivitas di lingkungan sekolah.
PJJ, demikian istilah yang kenalkan kepada masyarakat. Ternyata Pembelajaran Jarak Jauh sangat membebani sekaligus merepotkan masyarakat, sebab mereka harus memenuhi kuota, mencari signal, mencari referensi untuk tugas, dan lain sebagainya. Semuanya harus memanfaatkan internet.
Hampir dua tahun penuh, lingkungan sekolah tidak dijamah oleh warganya. Selama itu pula, berbagai aktivitas pengontrolan peserta didik dilakukan melalui penugasan dan online. Rerata peserta didik tidak mau mengikuti alur sesuai aturan yang ditetapkan. Berbagai alasan dimunculkan untuk melegalkan tindakan mereka.
Akhirnya kebosanan untuk tetap di rumah pun memuncak, masyarakat berontak. Terutama kalangan pemerhati pendidikan dan orang tua peserta didik.
Para pemerhati pendidikan, memandang akan terjadi yang namanya learning loss. Maka mereka pun langsung mengeluarkan berbagai argumen dan data untuk mendukung pendapatnya.
Masyarakat pun tidak mau ketinggalan. Dengan cara masing-masing mendesak pemerintah untuk mengizinkan sekolah buka. Anak-anak sudah kangen sekolah, katanya.
Pun demikian berbagai pemberitaan di media massa. Memunculkan keresahan para peserta didik yang ingin segera masuk sekolah.
Akhirnya kebijakan dibuat, dengan mengadakan uji coba masuk sekolah. Berbagai aturan dan syarat harus dipenuhi agar sekolah bisa melakukan pembelajaran tatap muka, secara luring.
Secara bertahap setiap sekolah disetiap kabupaten boleh mengadakan pembelajaran, dengan berbagai mekanisme yang tidak mudah. Kebijakan ini pun langsung mendapat respon positif dari masyarakat. Sekolah masuk. Sejurus kemudian, mereka melampiaskan kegembiraan.
Disisi lain, muncul masalah baru yang sangat mengejutkan bagi dunia pendidikan. Terutama, berkaitan dengan subasita.
Dikalangan pendidik, tak sedikit yang mengeluh perihal tata krama peserta didik. Perilaku itu sangat nampak ketika mereka bertemu dengan orang lain, khususnya, yang lebih tua. Semua acuh, tak mau tersenyum apa lagi bertegur sapa. Pendidik layaknya orang asing yang harus tidak disapa. Bahkan mereka tidak mau tahu siapa orang yang saat ini ada didepannya.
Yang membuat geleng-geleng kepala, ketika peserta didik diberi tahu atau diarahkan untuk sesuai dengan aturan, serasa mereka "wajib membantah". Seakan-akan apa yang dilakukannya sudah benar, baik secara norma sekolah maupun norma masyarakat.
Tak jarang pula, mereka hanya asal mengerjakan sesuatu. Yang penting bisa cepat berlalu dari "orang tua" ini.
Jika hal seperti ini terus berlangsung, tanpa ada yang memulai merubah, akankah perilaku sebagai orang timur akan tetap lestari dibenak para penerus bangsa? Kapan memulai dan bagaimana strateginya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar