Daftar saya

Jumat, 17 Oktober 2025

PARADOKS PENDIDIKAN: ANTARA KETUNDUKAN DI LIRBOYO DAN PERLAWANAN DI BANTEN

Dua potret dunia pendidikan Indonesia baru-baru ini memperlihatkan ironi yang mengguncang nurani. Di satu sisi, di Pesantren Lirboyo ribuan santri bersedeku di hadapan kiai, mencium tangan, menundukkan kepala penuh takzim; di sisi lain, di sebuah sekolah di Banten, seorang siswa yang ketahuan merokok menolak teguran, bahkan setelah mendapat tamparan spontan dari guru, orang tuanya melapor ke polisi atas dasar kekerasan terhadap anak. Dua dunia ini sama-sama berbicara tentang pendidikan, tetapi menampilkan wajah yang saling bertolak belakang antara penghormatan dan pemberontakan, antara adab dan hak, antara nilai lama yang menundukkan ego dan nilai baru yang mengagungkan kebebasan tanpa batas.

Di Lirboyo, adab adalah jantung pendidikan. Santri tidak hanya belajar kitab, tetapi juga belajar bagaimana menata hati, mengendalikan emosi, dan merendahkan diri di hadapan ilmu. Mereka diajarkan bahwa ilmu tidak akan masuk ke hati yang sombong. Menunduk di hadapan kiai adalah simbol kerendahan hati bahwa sebelum menjadi cerdas, manusia harus terlebih dahulu beradab. Ketika guru menegur, santri menerima dengan diam dan introspeksi; ketika kiai menegakkan disiplin, mereka meyakininya sebagai kasih sayang. Tidak ada laporan ke polisi, tidak ada viral di media sosial, tidak ada pembelaan yang membutakan nurani. Ada keikhlasan yang lahir dari pemahaman bahwa teguran adalah bagian dari cinta. Namun anehnya, budaya dan adab seperti itu dipandang sebagian orang sebagai bentuk feodalisme yang dihadirkan di dunia pendidikan.

Sebaliknya, di Banten, sebuah peristiwa sederhana berubah menjadi drama hukum. Seorang siswa merokok di sekolah tindakan yang jelas melanggar aturan. Seorang guru, dengan naluri pendidik dan rasa tanggung jawab, menamparnya spontan sebagai bentuk teguran keras agar ia jera dan sadar. Tetapi dunia hari ini tidak lagi membaca niat; ia hanya menilai dari bentuk. Tamparan itu diterjemahkan sebagai kekerasan, bukan pendidikan. Laporan polisi dibuat, guru diperiksa, dan ruang pendidikan kembali kehilangan martabatnya. Yang ironis, justru yang dibela mati-matian adalah murid yang melanggar, bukan guru yang mendidik.

Dua fenomena ini mencerminkan kegamangan bangsa dalam menentukan arah moral pendidikan. Apakah kita ingin membentuk generasi beradab seperti santri Lirboyo, yang hormat kepada guru, sabar menerima teguran, dan berjiwa rendah hati? Ataukah kita rela membiarkan generasi tumbuh bebas tanpa kendali, menganggap disiplin sebagai kekerasan, dan menjadikan guru sebagai musuh setiap kali hati mereka tersinggung?

Paradoks ini tidak bisa dijawab dengan hukum semata. Ia menuntut kebijaksanaan moral. Perlindungan anak memang penting, tetapi harus dibedakan antara kekerasan yang melukai dan ketegasan yang menyelamatkan. Guru bukan algojo, melainkan penjaga nurani bangsa. Jika setiap tindakan tegas mereka dipersoalkan, maka jangan salahkan masa depan jika sekolah hanya melahirkan generasi yang pintar melapor, tapi miskin sopan santun.

Dari Lirboyo kita belajar arti penghormatan; dari Banten kita belajar tentang kehilangan makna. Antara dua dunia ini, kita dipaksa bertanya, pendidikan seperti apa yang kita inginkan? Yang membentuk manusia beradab atau sekadar manusia bebas tanpa arah? Sebab bila adab telah dianggap kuno dan feodal serta disiplin disalahartikan sebagai kekerasan, maka pendidikan bukan lagi jalan menuju kemuliaan, melainkan panggung tempat moral bangsa perlahan-lahan mati.monggo di bandingkan.

Semoga ada berkah dan manfaat dunia Akhirat Amin.

Oleh: Gus Adib (diambil dari Group WA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

belajar dari mana saja

Entah sudah berapa tahun saya membaca aplikasi novel online ini. Awalnya hanya ingin mencari inspirasi puisi, meski tidak termasuk dalam kat...