Siti Nurjanah bersama keluarga |
Banyak kenangan yang ingin diciptakan, demikian mungkin
kalimat yang ingin mereka ungkapkan. Seorang siswa mengatakan “kata orang,
‘masa SMA adalah masa yang paling indah dan menyenangkan’. Buktinya kami tidak
demikian”. Dan beberapa yang lain malah dengan nada nge-gass dalam mengungkapkan uneg-unegnya.
Diantara mereka menganggap pandemi ini sebagai sesuatu yang
mengganggu, bahkan sebagai perusak acara yang telah dirancang sebelumnya.
Namun, tidak sedikit pula yang mengambil sisi positif adanya pandemi ini.
Berikut suka duka kami dalam melakukan daring. Adanya
pandemi, mengharuskan kami untuk belajar dari jarak jauh. Bahkan lintas
kecamatan. Belajar dari rumah.
Karena namanya proses belajar, maka diharapkan dalam
melakukan proses tersebut ada interaksi antar anggota kelas. Suasana harus
diciptakan seperti di dalam kelas sungguhan, dengan ada saling sahut antar siswa.
Biar tidak monoton dan spaneng maka
harus diselingi dengan sedikit guyonan.
Selain itu mengenai target yang ingin dicapai untuk setiap
materi pun hendaknya tidak seideal sebelum pandemi. Harus lebih luwes.
Tidak ngoyo dan ngoyak materi. Yang penting para siswa
“nyaman” dulu. Sebab, beban mereka sudah cukup banyak mulai dari tugas dari
guru, membantu orang tua, irit kuota, dan jaga kesehatan.
Hal ini sangat berbeda ketika mereka ada di kelas nyata.
Dari mereka bangun sampai bangun lagi, hanya sekolah yang dipikirkan. Sebab,
program sekolah mengharuskan mereka untuk bertahan sampai sore. Ketika sampai rumah,
hanya bisa rebahan dan menyelesaikan tugas dari Bapak dan Ibu guru.
Ketika kegiatan PJJ dilaksanakan jangan lupa untuk
mengikutsertakan peran orang tua dalam setiap kegiatan siswa. Hal ini perlu
dilakukan, sebab siswa berada dilingkungan orang-orang yang selama ini tidak
tahu-menahu perihal pendidikan di sekolah. Baik dalam hal mengajar maupun
mendidik siswa.
Kenyataannya, masih ada orang tua yang malah marah ketika
putra putri mereka seharian memegang handphone.
Jika si anak mencoba memberi pengertian, orang tua tidak mempercayainya. Ini
menambah beban bagi siswa. Mungkin kita berdalih, bukankah sudah banyak media
menghadirkan informasi tentang PJJ? Bukankah dari pihak sekolah sudah
melayangkan surat berkaitan dengan PJJ?
Dari peristiwa tersebut, dapat dilihat bahwa apa yang dilakukan
media dan sekolah belum cukup. Masih perlu strategi tambahan untuk menyampaikan
pesan kepada orang tua, terutama yang tidak begitu memperhatikan masalah
sekolah.
Kemudian, bagaimana strategi para pendidik untuk menyuarakan
PJJ? Jawabnya, yaitu dengan mendekatkan sekolah kepada orangtua. Misal, dengan berkunjung
ke rumah orangtua siswa. Berbicara dengan orangtua/ wali siswa. Atau dengan dengan
cara lain yaitu memberi tugas kepada siswa, menuliskan kegiatan mereka ditambah
dengan membubuhkan foto bersama dengan orangtua dan saudara di rumah.
Jika ini dilakukan maka, para orangtua akan mengerti
kegiatan belajar apa yang sedang dilakukan oleh putra putri mereka. Orangtua
tidak akan serta merta memarahi putra putri mereka jika sedang memegang
handphone dan sejenisnya. Akhirnya diharapkan bagi semua pihak menyadari akan
posisi masing-masing, tanpa mencari kesalahan bahkan memvonis apa yang sedang
dilakukan.
Semoga bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar