Pandemi. Membahas tentang pandemi, dapat dipastikan akan mengarah pada yang namanya Corona. Dan ketika membahasnya rasanya tidak ada ujungnya, ada saja kejadian tiap kali kita obrolkan.
Sudah sekitar enam bulan terakhir ia mampu
memporak-porandakan semua lini kehidupan manusia. Dampak yang paling kerasa
adalah dalam bidang perekonomian. Sebab, sector inilah yang paling dekat dan
bahkan langsung bersinggungan dengan manusia.
Seperti dalam permainan bilyard,
ketika satu disentil dengan kecepatan tertentu, maka akan menggerakkan seluruh
bola yang ada di papan pemainan. Semakin tinggi kecepatan sentilan , maka semakin
buyar bola yang lainnya dan bahkan tidak terarah. Carut marut dan saling
berbenturan.
Pun demikian dengan dunia pendidikan. Sangat terdampak. Semua
pergerakan dalam dunia pendidikan berubah seratus delapan puluh derajat. Bahkan
rasanya berhenti, tak bergerak.
Dan masalahpun bermunculan bak semut menemukan makanan
favoritnya. Dari pendidik muncul berbagai masalah, pun demikian dengan peserta
didik. Pendidik dan peserta didik, yang semula “nyaman” berubah drastis.
Pendidik yang semula dengan mudah bertemu dengan peserta didik,
sekarang harus tidak saling bertemu. Permasalahan awal yang muncul adalah bagaimana
pendidik menyampaikan materi yang harus dikuasai oleh siswanya? Solusinya
adalah dengan meminta pertolongan pihak lain yang dapat “menyatukan” kedua
belah pihak. Maka mulailah berbagai pihak bermunculan memperkenalkan
macam-macam aplikasi yang dapat digunakan untuk bertatap muka.
Masalah satu sudah tertangani. Sekarang muncul masalah
berikutnya, yaitu harus memilih aplikasi mana padahal semua yang dihadirkan nampak
asing bagi pendidik? Aplikasi mana yang lebih mudah dalam penyampaian materi? Pun
demikian ketika aplikasi sudah ditentukan, muncul masalah yang menyertainya,
yaitu bagaimana cara mengoperasikannya?
Nampaknya inilah yang membuat penddidik kebingungan sendiri.
Minta bantuan teman, kebanyakan dari mereka juga belum paham betul perihal
aplikasi yang digunakan. Akhirnya seadanya dan sekenanya. Belajar sambil jalan.
Inilah solusi terbaik.
Tak jauh berbeda dengan kondisi yang dialami siswa. Mereka juga
kerepotan dimasa pandemi ini. Mungkin mereka senang dapat libur lebih awal dan
lama, namun ternyata rasa bosan medera setiap saat. Mereka jenuh dengan
rutinitas belajar jarak jauh. Berbagai macam alasan dan curhat sana sini pun dilontarkan. Mulai dari kuota yang cepat
habis, mengusulkan untuk diberi bantuan kuota. Kendala sinyal yang sangat tidak
mendukung.
Kegalauan tidak hanya berhenti sampai itu saja. Masalah lain
masih ada, yaitu masalah di rumah. Ada yang mengeluhkan wifi rumah rusak. Kuoata
habis dan ketika minta saudara tidak diberi. Orangtua yang tidak percaya ketika
sang anak pegang HP atau ketika minta ijin keluar untuk tanya atau mengerjakan
tugas sekolah.
Selain itu, keadaan ekonomi yang mengharuskan para siswa untuk bekerja guna sekadar membeli kuota yang cepat habis, menjadikan proses PJJ yang ideal akan semakin sulit diwujudkan. Tak sedikit siswa yang mencoba bekerja sebisanya untuk membantu meringankan beban orangtua mereka. Jika ditanya perihal mengapa anaknya diperbolehkan bekerja, rata rata orangtua tidak sampai hati mengijinkan anaknya bekerja. Lagi lagi posisi orangtua bagaikan buah si malakama. Serba salah.
Dari segi diri siswa pun tak kalah gentingnya. Kecenderungan belajar tiap orang (siswa) tidaklah sama, ada yang belajar dengan melihat orang didepannya, dengan gerakan, dengan melihat teman sekelas, dan lain sebagainya. Nah, ketika PJJ maka hal itu tidak bisa dipenuhi, akhirnya siswa tidak paham akan materi yang sedang dibahas.
Yang membuat semakin carut marut adalah adanya saling menyalahkan, antar berbagai pihak. Ada yang menyalahkan orangtua, karena ini saatnya orangtua tahu perilaku putra putri mereka ketika berada disekolah. Orangtua pun tidak mau kalah, kalau belajar seperti ini yang lebih diuntungkan adalah gurunya. Siswa diberi tugas, kemudian melanjutkan beraktivitas lainnya. Pendidik pun demikian, mereka sangat kerepotan dengan alat baru, memberikan materi yang cukup merepotkan, penggunaan alat yang jauh dari kata sempurna. Sedangkan masyarakat, menyalahkan pemerintah karena PJJ sangat merepotkan orangtua dan perekonomian masyarakat. Sebab rata rata orangtua tidak lagi bekerja.
Sebenarnya saling tuding dan saling salah menyalahkan, bukan solusi yang tepat dalam menghadapi pandemi ini. Melainkan semua orang harus saling membantu, saling sadar diri, dan saling mengingatkan untuk selalu menerapkan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan dunia.
Yang diingatkan jangan ngegas, pun demikian yang mengingatkan. Selalu kondisikan "mesin" kita untuk selalu adem.
semoga bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar