Daftar saya

Rabu, 10 Februari 2021

Anak Semua Bangsa

Masih dengan karya Pramoedya Ananta Toer. 
Buku ini merupakan karya kedua dari Tetralogi Buru, tempat karya ini dilahirkan.
Masih pula dengan menyoroti perjalanan sang tokoh, Minke. Berikut ceritaku tentang buku yang mempesona dunia ini...

Minke masih digambarkan sebagai sosok yang sangat pintar, sangat percaya pada ilmu pengetahuan, sangat percaya kepada gurunya, menaruh perhatian amat sangat kepada yang namanya “modern” (kemajuan zaman). Ia sangat positif dalam memandang hidup. Namun, dibalik itu semua, ia punya satu kelemahan, yaitu belum mampu melihat “sisi lain” kehidupan. Meskipun pertemuannya dengan berbagai macam manusia, beserta kapribadiannya, dia belum mampu mengubah sudut pandangnya. Dia begitu percaya dengan pikiran sendiri.

Terdapat kritik yang sangat tajam, entah ditujukan kepada siapa atau pihak mana, kalau boleh mengusulkan, kritikan itu untuk bangsa kita saja. Kritikan itu tertulis demikian….

… Mereka membanting-tulang di seluruh dunia untuk mengumpulkan kekayaan melulu. Pulang hanya untuk dikagumi orang, memperbaiki kuburan leluhur. Dan: jatuh ke dalam pemerasan bandit-bandit yang menuntut uang bulanan atau tahunan. Untuk selama-lamanya mereka akan jadi perahan bandit-bandit leluhur dan bandit-bandit Thong di tempat mereka mencari penghidupan.

Akhirnya perantau-perantau itu kembali meninggalkan negeri leluhur, menyebar ke seluruh dunia, menghisap kekayaan dunia lebih banyak lagi untuk menyenangkan bandit-bandit leluhur (118-119)….

Meskipun runutan cerita yang dihadirkan dalam buku ini bukan menyasar waga 62, tetapi secara garis besar dilakukan oleh warga 62. Nah, seperti yang sudah diusulkan sebelumnya, kalau dicermati dan dirasakan, rasa-rasanya itu adalah yang dilakukan warga 62 selama ini bahkan sampai detik ini. Dimana dalam bekerja (sampai ke luar negeri) hanya untuk memperkaya diri, tanpa mengindahkan orang lain. Mereka mengejar yang namanya sukses, dianggap kaya.

Pengarang juga memberikan gambaran untuk dapat lebih kritis terhadap dunia di sekitar kita, maka ketahuilah bahasa bangsa lain. Kayaknya aneh, kenapa harus mengambil jalan memutar untuk menuju ke suatu tempat? Tapi entahlah, pokoknya begitulah yang dibelajarkan oleh pengarang buku ini.

“Tak ada yang pernah mengatakan tak perlu. Tanpa mempelajari bahasa bangsa-bangsa lain, terutama Eropa, orang takkan mengenal bangsa-bangsa lain. Bahkan tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri,” demikian komentar Komer pada Minke.

 

Pengarang juga memberikan teguran bahwa janganlah terlalu menganggap pihak lain sebagai sesuatu yang “wah”. Maksudnya adalah jangan terlalu memuja sesuatu (baik orang maupun benda) terlalu tinggi, bahkan sampai-sampai lupa daratan. Sebab, apa yang kita puja itu belum tentu baik, dan malah tidak mungkin malah sebaliknya. Jika kita memuja terlalu tinggi, sekali kita diberi kemampuan untuk melihat keburukan yang bersangkutan, maka kita akan sangat membencinya. Bahkan benci yang mendarah daging.

Dalam buku ini pengarang juga ingin menyampaikan pesan bahwa janganlah teoritis, tetapi lihatlah kenyataan yang ada di sekitar agar mata batin lebih peka terhadap “bentuk-bentuk kesalahan” yang ada dalam masyarakat.

Masih berkutat dengan kekagumanku kepada para penulis buku, termasuk pula pada penulis novel. Mereka sangat kaya akan referensi, terlihat dari karyanya yang sarat akan cerita diluar nalar kebanyakan orang. Bayangkan saja, pada saat penulis berkarya di tahun itu, dia sangat lihai dalam menceritakan kisah di negeri orang yang sangat jauh dari angan. Padahal disaat itu, tidak ada sumber apapun yang dapat diperoleh sembarangan orang. Internet pun tidak ada.

Pengarang memberikan gambaran kepada kita pula bahwa ia termasuk orang yang sangat terpelajar. Ia wakilkan dengan sosok Minke yang selalu membawa buku catatan atau kamus sebagai referensinya. Kalau mungkin zaman sekarang, adalah dengan mententeng gadget atau smartphone. Meskipun persamaan yang terakhir ini tidaklah sama, soalnya zaman sekarang tidak ada orang yang tidak mengenal barang yang satu ini.

 “Dalam kabin kubuka kamus. Tetapi keterangan tentang nasionalisme itu sama gelapnya dengan keterangan Ter Haar, tak memberikan gambaran yang memuaskan. Tak ada sedikitpun kesamaan dengan kehebatan yang digambarkannya tentang kebangkitan Pribumi Filipina terhadap Spanyol dan Amerika Serikat”

Melalui tokoh Surati, pengarang memberikan gambaran bahwa setiap bentuk perjuangan tidak harus diketahui banyak orang atau bahkan mencari penghargaan. Melainkan sebaliknya atau dengan berusaha memberikan pengertian kepada halayak bahwa yang ia lakukan adalah bentuk perjuangan melawan kekuasaan, tidak patut dilakukan. Yang penting niat berjuang untuk bangsa dan negara. Tidak lebih dan tidak kurang. Mungkin seperti kata pepatah jawa, “sepi ing pamrih, rame ing gawe”.  

saya rasa masih ada tambahan lagi terkait dengan buku ini,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlatih Berbahasa#2

Paragraf argumentasi adalah sebuah tulisan atau paragraph yang berisi mengenai alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendiria...