Masih dengan karya Pramoedya Ananta Toer.
Buku ini merupakan karya kedua dari Tetralogi Buru, tempat karya ini dilahirkan.
Masih pula dengan menyoroti perjalanan sang tokoh, Minke. Berikut ceritaku tentang buku yang mempesona dunia ini...
Minke masih digambarkan sebagai sosok yang sangat pintar, sangat
percaya pada ilmu pengetahuan, sangat percaya kepada gurunya, menaruh perhatian
amat sangat kepada yang namanya “modern” (kemajuan zaman). Ia sangat positif
dalam memandang hidup. Namun, dibalik itu semua, ia punya satu kelemahan, yaitu
belum mampu melihat “sisi lain” kehidupan. Meskipun pertemuannya dengan
berbagai macam manusia, beserta kapribadiannya, dia belum mampu mengubah sudut
pandangnya. Dia begitu percaya dengan pikiran sendiri.
Terdapat kritik yang sangat tajam, entah ditujukan kepada
siapa atau pihak mana, kalau boleh mengusulkan, kritikan itu untuk bangsa kita
saja. Kritikan itu tertulis demikian….
… Mereka membanting-tulang di seluruh dunia untuk mengumpulkan kekayaan
melulu. Pulang hanya untuk dikagumi orang, memperbaiki kuburan leluhur. Dan:
jatuh ke dalam pemerasan bandit-bandit yang menuntut uang bulanan atau tahunan.
Untuk selama-lamanya mereka akan jadi perahan bandit-bandit leluhur dan bandit-bandit
Thong di tempat mereka mencari penghidupan.
Akhirnya perantau-perantau itu kembali meninggalkan negeri leluhur,
menyebar ke seluruh dunia, menghisap kekayaan dunia lebih banyak lagi untuk
menyenangkan bandit-bandit leluhur (118-119)….
Meskipun runutan cerita yang dihadirkan dalam buku ini bukan menyasar waga 62, tetapi secara garis besar dilakukan oleh warga 62. Nah, seperti yang sudah diusulkan sebelumnya, kalau dicermati dan dirasakan, rasa-rasanya itu adalah yang dilakukan warga 62 selama ini bahkan sampai detik ini. Dimana dalam bekerja (sampai ke luar negeri) hanya untuk memperkaya diri, tanpa mengindahkan orang lain. Mereka mengejar yang namanya sukses, dianggap kaya.
Pengarang juga memberikan
gambaran untuk dapat lebih kritis terhadap dunia di sekitar kita, maka
ketahuilah bahasa bangsa lain. Kayaknya aneh, kenapa harus mengambil jalan
memutar untuk menuju ke suatu tempat? Tapi entahlah, pokoknya begitulah yang
dibelajarkan oleh pengarang buku ini.
“Tak ada yang pernah mengatakan tak perlu. Tanpa mempelajari bahasa
bangsa-bangsa lain, terutama Eropa, orang takkan mengenal bangsa-bangsa lain.
Bahkan tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya
sendiri,” demikian komentar Komer pada Minke.
Pengarang juga memberikan teguran
bahwa janganlah terlalu menganggap pihak lain sebagai sesuatu yang “wah”.
Maksudnya adalah jangan terlalu memuja sesuatu (baik orang maupun benda)
terlalu tinggi, bahkan sampai-sampai lupa daratan. Sebab, apa yang kita puja
itu belum tentu baik, dan malah tidak mungkin malah sebaliknya. Jika kita
memuja terlalu tinggi, sekali kita diberi kemampuan untuk melihat keburukan
yang bersangkutan, maka kita akan sangat membencinya. Bahkan benci yang
mendarah daging.
Dalam buku ini pengarang juga
ingin menyampaikan pesan bahwa janganlah teoritis, tetapi lihatlah kenyataan
yang ada di sekitar agar mata batin lebih peka terhadap “bentuk-bentuk
kesalahan” yang ada dalam masyarakat.
Masih berkutat dengan kekagumanku
kepada para penulis buku, termasuk pula pada penulis novel. Mereka sangat kaya
akan referensi, terlihat dari karyanya yang sarat akan cerita diluar nalar
kebanyakan orang. Bayangkan saja, pada saat penulis berkarya di tahun itu, dia
sangat lihai dalam menceritakan kisah di negeri orang yang sangat jauh dari
angan. Padahal disaat itu, tidak ada sumber apapun yang dapat diperoleh
sembarangan orang. Internet pun tidak ada.
Pengarang memberikan gambaran
kepada kita pula bahwa ia termasuk orang yang sangat terpelajar. Ia wakilkan
dengan sosok Minke yang selalu membawa buku catatan atau kamus sebagai
referensinya. Kalau mungkin zaman sekarang, adalah dengan mententeng gadget atau smartphone. Meskipun persamaan yang terakhir ini tidaklah sama,
soalnya zaman sekarang tidak ada orang yang tidak mengenal barang yang satu
ini.
“Dalam kabin kubuka kamus.
Tetapi keterangan tentang nasionalisme itu sama gelapnya dengan keterangan Ter
Haar, tak memberikan gambaran yang memuaskan. Tak ada sedikitpun kesamaan
dengan kehebatan yang digambarkannya tentang kebangkitan Pribumi Filipina
terhadap Spanyol dan Amerika Serikat”
Melalui tokoh Surati, pengarang memberikan gambaran bahwa setiap bentuk perjuangan tidak harus diketahui banyak orang atau bahkan mencari penghargaan. Melainkan sebaliknya atau dengan berusaha memberikan pengertian kepada halayak bahwa yang ia lakukan adalah bentuk perjuangan melawan kekuasaan, tidak patut dilakukan. Yang penting niat berjuang untuk bangsa dan negara. Tidak lebih dan tidak kurang. Mungkin seperti kata pepatah jawa, “sepi ing pamrih, rame ing gawe”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar