15 Januari 2008
Mengapa kedua hal ini disebut
sebagai dasar menulis bagi wartawan. Kedua teknik ini juga bisa, dan memang
efektif, dipakai oleh penulis non-wartawan, termasuk bloger.
Salah satu ciri khas tulisan
jurnalistik, seperti berita di suratkabar, adalah padat dan informatif, bukan
bertele-tele apalagi berputar-putar. Sebab itulah dibuat formula “piramida
terbalik” dan rumus 5W+1H; dengan begitu pembaca bisa memahami tulisan dengan
lebih mudah.
menulis itu [bisa] mudah; blog
berita; jarar siahaan
Tapi jangan mengira bahwa setiap
wartawan otomatis sudah menguasai kedua teknik ini. Faktanya, banyak wartawan —
baik yang bertugas meliput di lapangan [reporter] maupun tukang edit di kantor
[redaktur] — yang tidak tahu apa itu piramida terbalik dan 5W+1H. Untuk
membuktikannya, setelah membaca artikel ini, silakan buka koran-koran lokal di
daerahmu dan lihatlah sendiri.
Bagi pembaca sebuah artikel,
piramida terbalik memudahkannya menangkap inti cerita, sebab informasi yang
paling pokok langsung dibeberkan sejak alinea-alinea awal.
Sementara bagi redaktur di meja
redaksi, piramida terbalik juga memberi keuntungan. Yaitu ketika sebuah artikel
harus diperpendek karena kolom terbatas sementara waktu [deadline] sudah mepet,
maka redaktur tinggal memotong bagian bawah. Kalimat-kalimat yang dibuang itu
tidak akan mengurangi makna artikel, asalkan ditulis dalam bentuk piramida
terbalik.
“Apa yang dimaksud dengan nilai
berita?” tanyaku.
“5W dan 1H,” jawabnya.
Aku kaget bukan kepalang. Karena,
jawabannya salah.
5W+1H adalah unsur berita, bukan
nilai berita. Sementara nilai berita adalah elemen-elemen yang membuat sebuah
peristiwa atau percakapan layak disebut sebagai berita — hal ini akan kutulis
pada kesempatan lain. Sekarang aku hanya ingin menulis soal unsur berita 5W+1H.
Itu adalah singkatan dari “what,
who, when, where, why, how,” yang dalam bahasa Indonesia menjadi “apa, siapa,
kapan, di mana, mengapa, bagaimana.” Semua unsur inilah yang harus terkandung
dalam sebuah artikel biasa atau berita biasa. Aku sengaja memakai istilah “artikel
biasa” karena dalam karya tulis bentuk lain, seperti feature dan esai, tidak
semua unsur 5W+1H harus dipenuhi.
Memasukkan keenam unsur ini ke dalam
tulisan adalah mudah, sama saja ketika kita berbicara secara lisan dengan
seseorang. Misalkan engkau baru tiba di kantor lalu bercerita pada rekanmu
tentang kecelakaan yang kaulihat di jalan.
“Waduh, lo tahu nggak, tadi tuh,
sekitar pukul 7 [KAPAN], dekat lampu merah Jalan SM Raja [DI MANA],
ada kecelakaan langsung terjadi di depan mata gua. Satu mobil sedan nabrak
motor [APA]. Sopirnya [SIAPA] nggak apa-apa, tapi yang punya
motor [SIAPA] tewas di tempat. Yang salah sih si korban. Gua sempat lihat,
dia nggak peduli lampu merah, malah dia tancap gas motornya. Nah, waktu
menerobos lampu merah itu, mobil sedan dari arah kanan juga sedang kencang, dia
ketabrak dan jatuh, kepalanya berdarah [BAGAIMANA]. Kasihan banget. Gua
sempat berhentikan motor gua, lalu bantu geser motor korban. Nggak lama polisi
datang. Menurut polisi, ternyata motor dia tuh lagi putus rem [MENGAPA].
Padahal tadi sempat gua kira dia sengaja ngebut.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar