Banyak jalan menuju Roma..
Ungkapan di atas tentunya tidak asing di telinga dan otak kita.
Ungkapan itu pula kiranya yang tepat untuk mengungkapkan fenomena
yang ada baru-baru ini, tepatnya berkaitan dengan tanggal 21 April.
Yaitu dalam rangka memeriahkan hari Kartini. Mengapa? Itulah kiranya
yang muncul dalam benak kita.
Sebelumnya mari kita lihat definisi jalan dalam KBBI (http://kbbi.web.id/jalan),
yang salah satunya dapat diartikan sebagai sebuah cara. Cara dalam
tulisan ini diartikan sebagai terdapat beberapa cara untuk melakukan
atau berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu.
Tulisan berikut mencoba memadukan antara “tanggal 21” dengan “jalan”. Terus apa hubungannya? Tyus mi apah?
Telah dikatakan sebelumnya, bahwa terdapat berbagai jalan (cara)
untuk menuju sebuah kota yang bernama Roma. Tetapi dalam tulisan kali
ini, bukan Roma yang dibahas melainkan Roma disini disamaartikan sebagai
tanggal 21 April, hari Kartini.
Sekadar menegaskan dari apa yang telah diutarakan sebelumnya, bahwa
ternyata terdapat berbagai macam jalan (cara) untuk memeriahkan hari
Kartini ini. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh para siswa SMA 2
Rembang, yaitu melaksanakan pameran selama tiga hari.
Pameran ini diselenggarakan, selain bertujuan untuk memeriahkan hari
Kartini. Pameran ini juga bertujuan untuk memberi bekal (yang
sebenarnya masih sangat minim) serta menumbuhkan jiwa kewirausahaan.
Ditambah lagi dapat dijadikan ajang bagi para siswa untuk mengeksplorasi
daya kreatifitas mereka.
Meskipun terdapat berbagai macam jalan (baca: cara) dalam menyikapi
hal tersebut. Nampaknya cara inilah (pagelaran pameran) yang dirasa oleh
pihak SMADA cukup ampuh.
Mereka berlomba-lomba membuat serta menghias stand sebagus mungkin
dengan dana yang sangat minim. Disinilah ajang bagi para siswa untuk
mengeksplor kreatifitas serta bakat kewirausahaannya, yaitu dengan
menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara kita memanfaatkan dana yang
minim untuk menciptakan sesuatu yang menarik? Bagaimana cara mengisi
stand?
Mereka semakin tertantang lagi yaitu dengan dibatasinya peran “orang
asing” dalam rangka mendirikan dan membuat plus menghias stand tersebut.
Dengan semakin sempitnya ruang gerak tersebut ternyata hasilnya cukup
memuaskan. Meskipun tidak semenarik para designer-designer tingkat
hajatan, kecamatan, kabupaten, atau bahkan tingkat nasional.
Terlepas jelek atau bagusnya stand, tapi itulah kemampuan anak dalam
merealisasikan apa yang mereka pikirkan. Yang terpenting bukan bagus
atau menariknya, tetapi lebih menekankan aspek kemandirian. Nampaknya
itulah spirit yang ingin dimunuculkan. Dan kita sebagai “orang luar”
wajib tidak membatasi kebebasan tersebut, yaitu dengan mencemoohnya.
Karena itu dapat membunuh semangat dan kreatifitas.
Ternyata jika kita telaah lebih jauh dari fenomena tersebut, yang
oleh Gadamer disebut sebagai “teks”, tidak hanya sebatas mendirikan
stand, menghias stand, kemandirian yang akan muncul dari kegiatan ini.
Tetapi lebih jauh dari itu, yaitu kebersamaan.
Dimana kebersamaan ini pada akhirnya akan menciptakan sebuah kohesi sosial (baca: integrasi sosial). Menurut Dewan Eropa (European Committee for Social Cohesion:
2004) mendefinisikan kohesi sosial sebagai “kemampuan suatu masyarakat
untuk menjamin kesejahteraan anggotanya, menekan perbedaan dan
menghindari polarisasi. Masyarakat yang kohesif merupakan komunitas yang
terdiri dari individu-individu bebas yang saling mendukung, mencapai
tujuan bersama secara demokratis”.
Definisi kohesi sosial di atas terlihat bahwa adanya kohesi sosial
ini sangat penting bagi keberlangsungan suatu masyarakat (dalam tulisan
ini diartikan sebagai kelompok siswa dalam satu kelas), yaitu dengan
mengurangi rasa egonya, saling mendukung untuk mencapai tujuan yang
telah dicita-citakan bersama.
Dalam uraian lain dijelaskan bahwa terdapat lima dimensi utama dari
kohesi sosial (Berger-Schmitt: 2000), antara lain mencakup (i)
kebersamaan – isolasi (nilai-nilai bersama, identitas, perasaan
komitmen), (ii) pengikutsertaan-pengesampingan (kesempatan yang setara
untuk memperoleh akses), (iii) partisipasi – ketidakterlibatan (dalam
hal kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya), (iv) penerimaan –
penolakan (menghargai dan mentoleransi perbedaan dalam masyarakat
majemuk) dan (v) legitimasi – ilegitimasi (akan institusi-institusi yang
berperan sebagai mediator dalam konflik di mayarakat majemuk). Dari
syarat di atas terlihat pula jika ingin satu kelompok menjadi utuh dan
langgeng maka para anggotanya harus mendapat kesempatan dan saling
mengerti serta memahami segala yang ada dalam setiap kelompok mereka.
Tanpa ada usaha saling menjatuhkan.
Jika boleh menambahkan, atau lebih agak dijelaskan, bahwa kohesi
dapat tercipta dari adanya rasa kebersamaan, senasib seperjuangan, dan
sebagainya. Yang pada inti dari semuanya adalah adanya satu rasa dan
satu tujuan.
Bayangkan saja, jika dalam satu kelompok dibantu oleh berbagai “orang
asing”. Mereka tidak akan peduli tentang “bagaimana kapal mereka
jadinya kelak? Bagaimana konsep yang bagus? Tidak ada proses ‘ngobrol’
bareng diantara mereka dan sebagainya dan sejenisnya”. Dan kesan yang
nampak pada hasil akhir adalah adanya ketidaknyambungan tampilan stand
dengan isi di dalam stand.
Jika sikap dan perilaku tersebut tertanam pada diri anak sejak dini,
maka tinggal menunggu saja kemunculan jiwa-jiwa materialistis dan sikap
pragmatis di dunia nyata.
Selasa, 30 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Dokumen Pribadi: Penjual Ereng-ereng Sumber . Apa itu ereng-ereng? Mungkin itu yang ada dibenak Anda. Pun demikian dengan saya,...
-
Nuruti, adalah (setidaknya menurut saya) kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan sore ini. Sebab, sedari kemarin kami dioyak...
-
Covid_19 atau yang disebut dengan nama corona atau bahkan korona. Penyebaran virus ini sangatlah cepat, tidak dapat diterka, sulit didetek...
Berlatih Berbahasa#2
Paragraf argumentasi adalah sebuah tulisan atau paragraph yang berisi mengenai alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendiria...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar