Daftar saya

Selasa, 14 Januari 2020

Perspektif Fungsional dan Konflik dalam Pendidikan


A. Perspektif Teori Struktural Fungsional Dalam Pendidikan

(Pierre Boudieu)

Perspektif fungsional memiliki asumsi utama yaitu melihat masyarakat sebagai sebuah system yang didalamnya terdapat subsistem. Subsistem tersebut memiliki fungsi masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Agar system masyarakat dapat berjalan stabil (tidak terjadi perpecahan dalam masyarakat), maka subsistem tersebut harus selalu ada dan selalu menjalankan fungsinya masing-masing. Apabila salah satu atau beberapa subsistem tidak berperan sebagai mana fungsinya, maka system tersebut akan hancur atau masyarakat akan mengalami kekacauan.
Ralp Dahrendorf (1959) mengemukakan empat asumsi dasar perspektif ini, yaitu:
1.      Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relative gigih dan stabil. Masyarakat dipandang sebagai sebuah bangunan yang statis.
2.      Masyarakat mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik
3.      Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu system
4.      Seiap unsur dalam struktur social berfungsi atas dasar consensus mengenai nilai di kalangan anggotanya
Konsep penting dalam perspektif ini adalah struktur dan fungsi, yang menunjuk pada dua atau lebih bagian atau komponen yang berbeda dan terpisah, akan tetapi berhubungan satu sama lain. Struktur sering dianalogikan dengan bagian-bagian anggota badan manusia, sedangkan fungsi menunjuk bagaimana bagian-bagian ini berhubungan dan bergerak. Struktur tersusun atas beberapa bagian yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain. Struktur social terdiri atas berbagai komponen masyarakat, seperti kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, masyarakat setempat/local, dan sebagainya.
Secara umum, para analis fungsional melihat fungsi serta konstribusi yang positif lembaga pendidikan dalam memelihara atau mempertahankan keberlangsungan system social. Ada dua penganut utama perspektif fungsional, yaitu Emil Durkhrim dan Talcott Person.
Emil Durkhrim: pendidikan dan solidaritas social
Sekolah sebagai miniature masyarakat
Pendidikan dan pembagian kerja

Talcott Person: pendidikan dan nilai universal
Pendidikan dan kesepakatan nilai
Pendidikan dan seleksi social
Halaman yang ditulis: 15-23
Sumber: Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolis Di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdeu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.


B. Perspektif Teori Konflik Dalam Pendidikan (Pierre Boudieu)

Pemikiran perspektif konflik melihat lembaga pendidikan memiliki fungsi yang negative. Perspektif ini menekankan adanya perbedaan pada diri individu dalam mendukung suatu system social. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri atas individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan yang terbatas. Kemampuan indivudu untuk mendapatkan kebutuhan pun berbeda-beda. Menurut Dahrendorf (1959), asumsi utama perspektif ini ada empat, yaitu:
1.      Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan.
2.      Disensus*) dan konflik terdapat dimana-mana.
3.      Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada terjadinya disintegrasi dan perubahan masyarakat.
4.      Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
Dengan kata lain, perubahan social dalam masyarakat, menurut perspektif ini, merupakan sebuah proses yang tidak dapat dihindarkan. Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan, baik lambat maupun cepat.
Berkaitan dengan keberadaan lembaga pendidikan, bagi analis konflik, pendidikan justru memberikan kontribusi negative bagi masyarakat. Perspektif konflik memiliki beberapa asumsi dasar, diantaranya bahwa setiap unsur dalam system social memiliki potensi memunculkan konflik dalam masyarakat. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kedudukan atau posisi antarsunsistem.
Karl Marx sebagai salah satu analis konflik menejaskan bahwa telah terjadi ketidaksetaraan social dalam masyarakat. Ia menyebut factor utama yang menyebabkan ketidaksetaraan tersebut adalah factor ekonomi. Dalam masyarakat, ada sekelompok orang yang mampu menguasai sumber daya ekonomi (modal) yang jumlahnya terbatas, kelompok ini adalah kelompok minoritas. Di sisi lain, kelompok mayoritas tidak mampu menguasai sumber daya yang sifatnya terbatas tersebut, akibatnya kelompok mayoritas justru bergantung pada kelompok minoritas. Kelompok minoritas tersebut semakin menguatkan posisinya dengan menguasai (menindas –dalam bahasa Marx) kelompok mayoritas. Cara yang ditempuh adalah dengan melakukan eksploitasi terhadap kelompok mayoritas (Johnson, 1990). Perbedaan posisi kaum minoritas dan mayoritas tersebut telah menyebabkan terjadinya konflik (ketidaksetaraan). Jika Marx menyatakan bahwa factor factor ekonomi sebagai penyebab terjadinya ketidaksetaraan (inequality) social, maka lembaga pendidikan pun mengalami hal serupa. Artinya, menurut perspektif konflik, lembaga pendidikan (sekolah) juga turut memberikan kontribusi yang menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan social dalam masyarakat. Sekolah dinilai telah memperlebar jarak antara si kaya dan si miskin dan pendidikan juga telah membantu kelompok elit untuk mempertahankan dominasi mereka.
Sebagaimana diketahui, individu dalam kehidupan social, masyarakat terbagi atas kelas-kelas tertentu atau bertingkat secara hierarkis, ada individu yang menduduki posisi atas (kelas atas), ada individu yang menduduki posisi bawah (kelas bawah). Secara umum, individu yang berada di kelas atas jumlah lebih sedikit daripada individu yang berada di kelas bawah. Perbedaan kelas ini berimbas pada perbedaan kesempatan (baca: kemampuan) untuk mengakses fasilitas pendidikan. Disisi lain, institusi pendidikan juga disediakan untuk melayani (baca: mendukung) adanya perbedaan kelas tersebut, dengan kata lain, institusi pendidikan bagi kelas atas akan berbeda dengan institusi pendidikan bagi masyarakat kelas bawah. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sempit kesempatan individu dari kelas bawah untuk mengaksesnya. Apabila dikaitkan dengan fungsi pendidikan sebagai dasar stratifikasi social, maka pendidikan memberikan kontribusi terwujudnya system stratifikasi social yang berbentuk piramida.
System stratifikasi ini akan terus berkembang dalam system pendidikan yang meluas secara cepat. Individu dari kelas atas biasanya akan memilih atau memasuki sekolah-sekolah negeri atau swasta yang mahal dan berkelas. Sebaliknya, individu dari kelas bawah cenderung meninggalkan sekolah lebih awal (droup out) karena ketiadaan biaya.
Sekolah-sekolah favorit hanya dapat diakses oleh individu dari kelas atas, sedangkan individu dari kelas bawah hanya mampu bersekolah di sekolah pinggiran dengan fasilitas belajar yang sangat minim. Posisi piramida yang saling bertolak belakang ini pada akhirnya tentu saja menyebabkan ketidaksetaraan social yang berimbas pada terjadinya reproduksi social.
Pendidikan dan reproduksi social
Browles dan Gintis: sekolah dalam masyarakat kapitalis
Sekolah dan kesetaraan peluang
Sekolah dan ketidaksetaraan prestasi

*)Disensus adalah situasi social yang memperlihatkan terjadinya ketidaksepakatan mengenai penerapan nilai-nilai tertentu.
Halaman yang ditulis: 23-28.
Sumber:
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolis Di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdeu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
www.KBBI.web.id/disensus, diakses 11 Januari 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlatih Berbahasa#2

Paragraf argumentasi adalah sebuah tulisan atau paragraph yang berisi mengenai alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendiria...