A. Perspektif Teori Struktural Fungsional Dalam
Pendidikan
(Pierre Boudieu)
Perspektif
fungsional memiliki asumsi utama yaitu melihat masyarakat sebagai sebuah system
yang didalamnya terdapat subsistem. Subsistem tersebut memiliki fungsi
masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Agar system
masyarakat dapat berjalan stabil (tidak terjadi perpecahan dalam masyarakat),
maka subsistem tersebut harus selalu ada dan selalu menjalankan fungsinya
masing-masing. Apabila salah satu atau beberapa subsistem tidak berperan
sebagai mana fungsinya, maka system tersebut akan hancur atau masyarakat akan
mengalami kekacauan.
Ralp
Dahrendorf (1959) mengemukakan empat asumsi dasar perspektif ini, yaitu:
1. Setiap
masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relative gigih dan stabil.
Masyarakat dipandang sebagai sebuah bangunan yang statis.
2. Masyarakat
mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik
3. Setiap
unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada
terpeliharanya masyarakat sebagai suatu system
4. Seiap
unsur dalam struktur social berfungsi atas dasar consensus mengenai nilai di
kalangan anggotanya
Konsep
penting dalam perspektif ini adalah struktur
dan fungsi, yang menunjuk pada dua
atau lebih bagian atau komponen yang berbeda dan terpisah, akan tetapi
berhubungan satu sama lain. Struktur
sering dianalogikan dengan bagian-bagian anggota badan manusia, sedangkan fungsi menunjuk bagaimana bagian-bagian
ini berhubungan dan bergerak. Struktur tersusun atas beberapa bagian yang
saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain. Struktur social
terdiri atas berbagai komponen masyarakat, seperti kelompok-kelompok,
keluarga-keluarga, masyarakat setempat/local, dan sebagainya.
Secara
umum, para analis fungsional melihat fungsi serta konstribusi yang positif
lembaga pendidikan dalam memelihara atau mempertahankan keberlangsungan system
social. Ada dua penganut utama perspektif fungsional, yaitu Emil Durkhrim dan
Talcott Person.
Emil
Durkhrim: pendidikan dan solidaritas social
Sekolah
sebagai miniature masyarakat
Pendidikan
dan pembagian kerja
Talcott
Person: pendidikan dan nilai universal
Pendidikan
dan kesepakatan nilai
Pendidikan
dan seleksi social
Halaman yang ditulis:
15-23
Sumber: Martono,
Nanang. 2012. Kekerasan Simbolis Di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan
Pierre Bourdeu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
B. Perspektif
Teori Konflik Dalam Pendidikan (Pierre Boudieu)
Pemikiran
perspektif konflik melihat lembaga pendidikan memiliki fungsi yang negative.
Perspektif ini menekankan adanya perbedaan pada diri individu dalam mendukung
suatu system social. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri atas
individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan yang terbatas. Kemampuan
indivudu untuk mendapatkan kebutuhan pun berbeda-beda. Menurut Dahrendorf
(1959), asumsi utama perspektif ini ada empat, yaitu:
1. Setiap
masyarakat tunduk pada proses perubahan.
2. Disensus*)
dan konflik terdapat dimana-mana.
3. Setiap
unsur masyarakat memberikan sumbangan pada terjadinya disintegrasi dan perubahan
masyarakat.
4. Setiap
masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota
lainnya.
Dengan
kata lain, perubahan social dalam masyarakat, menurut perspektif ini, merupakan
sebuah proses yang tidak dapat dihindarkan. Setiap masyarakat selalu mengalami
perubahan, baik lambat maupun cepat.
Berkaitan
dengan keberadaan lembaga pendidikan, bagi analis konflik, pendidikan justru
memberikan kontribusi negative bagi masyarakat. Perspektif konflik memiliki
beberapa asumsi dasar, diantaranya bahwa setiap unsur dalam system social
memiliki potensi memunculkan konflik dalam masyarakat. Konflik ini terjadi
karena adanya perbedaan kedudukan atau posisi antarsunsistem.
Karl
Marx sebagai salah satu analis konflik menejaskan bahwa telah terjadi ketidaksetaraan
social dalam masyarakat. Ia menyebut factor utama yang menyebabkan
ketidaksetaraan tersebut adalah factor ekonomi. Dalam masyarakat, ada
sekelompok orang yang mampu menguasai sumber daya ekonomi (modal) yang
jumlahnya terbatas, kelompok ini adalah kelompok minoritas. Di sisi lain,
kelompok mayoritas tidak mampu menguasai sumber daya yang sifatnya terbatas
tersebut, akibatnya kelompok mayoritas justru bergantung pada kelompok
minoritas. Kelompok minoritas tersebut semakin menguatkan posisinya dengan
menguasai (menindas –dalam bahasa Marx) kelompok mayoritas. Cara yang ditempuh
adalah dengan melakukan eksploitasi terhadap kelompok mayoritas (Johnson,
1990). Perbedaan posisi kaum minoritas dan mayoritas tersebut telah menyebabkan
terjadinya konflik (ketidaksetaraan). Jika Marx menyatakan bahwa factor factor
ekonomi sebagai penyebab terjadinya ketidaksetaraan (inequality) social, maka lembaga pendidikan pun mengalami hal
serupa. Artinya, menurut perspektif konflik, lembaga pendidikan (sekolah) juga
turut memberikan kontribusi yang menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan social
dalam masyarakat. Sekolah dinilai telah memperlebar jarak antara si kaya dan si
miskin dan pendidikan juga telah membantu kelompok elit untuk mempertahankan
dominasi mereka.
Sebagaimana
diketahui, individu dalam kehidupan social, masyarakat terbagi atas kelas-kelas
tertentu atau bertingkat secara hierarkis, ada individu yang menduduki posisi
atas (kelas atas), ada individu yang menduduki posisi bawah (kelas bawah).
Secara umum, individu yang berada di kelas atas jumlah lebih sedikit daripada
individu yang berada di kelas bawah. Perbedaan kelas ini berimbas pada
perbedaan kesempatan (baca: kemampuan) untuk mengakses fasilitas pendidikan.
Disisi lain, institusi pendidikan juga disediakan untuk melayani (baca:
mendukung) adanya perbedaan kelas tersebut, dengan kata lain, institusi
pendidikan bagi kelas atas akan berbeda dengan institusi pendidikan bagi
masyarakat kelas bawah. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sempit
kesempatan individu dari kelas bawah untuk mengaksesnya. Apabila dikaitkan
dengan fungsi pendidikan sebagai dasar stratifikasi social, maka pendidikan
memberikan kontribusi terwujudnya system stratifikasi social yang berbentuk
piramida.
System
stratifikasi ini akan terus berkembang dalam system pendidikan yang meluas
secara cepat. Individu dari kelas atas biasanya akan memilih atau memasuki
sekolah-sekolah negeri atau swasta yang mahal dan berkelas. Sebaliknya,
individu dari kelas bawah cenderung meninggalkan sekolah lebih awal (droup out) karena ketiadaan biaya.
Sekolah-sekolah
favorit hanya dapat diakses oleh individu dari kelas atas, sedangkan individu
dari kelas bawah hanya mampu bersekolah di sekolah pinggiran dengan fasilitas
belajar yang sangat minim. Posisi piramida yang saling bertolak belakang ini
pada akhirnya tentu saja menyebabkan ketidaksetaraan social yang berimbas pada
terjadinya reproduksi social.
Pendidikan
dan reproduksi social
Browles
dan Gintis: sekolah dalam masyarakat kapitalis
Sekolah
dan kesetaraan peluang
Sekolah
dan ketidaksetaraan prestasi
*)Disensus adalah situasi social yang
memperlihatkan terjadinya ketidaksepakatan mengenai penerapan nilai-nilai
tertentu.
Halaman
yang ditulis: 23-28.
Sumber:
Martono,
Nanang. 2012. Kekerasan Simbolis Di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan
Pierre Bourdeu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
www.KBBI.web.id/disensus,
diakses 11 Januari 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar