FOTO ANTARA/Andika Betha/mes/10 |
Pernah mendengar kata merti desa? Suatu upacara adat yang mungkin tak asing bagi kita. Dimana Tradisi yang untuk saat ini masih terus lestari tak hanya menentramkan hati, namun juga memberikan kebanggaan atas ragam kekayaan budaya di negeri ini. Sebuah tradisi yang perlu dilestarikan, larena semakin kekinian, tradisi ini mulai di tinggalkan, acara ini masih tetap berlangsung, walaupuntidak banyak lagi yang melakukannya, khususnya di seputar Yogyakarta.
Merti desa, sering disebut juga bersih desa, hakikatnya
adalah simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan
karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berujud apa saja, seperti
kelimpahan rezeki, keselamatan, serta ketentraman dan keselarasan hidup. Bahkan
orang Jawa percaya, ketika sedang dilanda duka dan tertimpa musibah pun, masih
banyak hal yang pantas disyukuri. Masih ada hikmah dan pelajaran positif yang
dapat dipetik dari terjadinya sebuah petaka. Di samping itu, rasa syukur juga
bisa menjadi pelipur sekaligus sugesti yang menghadirkan ketenangan jiwa.
Merti desa biasanya dilakukan pada bulan bulan tertentu,
dalamm kalender jawa. Di dusun Jetis, Sidoagung, Godean, Sleman belum lama ini,
tepatnya tanggal 27 Desember 2013 mengadakan Merti Desa. Yang di ikuti oleh
seluruh warga di dusun Jetis. Baik muda ataupun yang sudah berumur. Dalam Meti
Desa peran masyarakat dalam partisipasinya sangat menentukan proses dan
kelestarian budaya ini. Karena secara langsung mereka melakukan kontak langsung
dengan melaksanakan merti desa.
Acara dalam merti desa antara lain adanya arak-arakan yang
akan diikuti oleh masyarakat. Ini adalh acara yangt sangat di tunggu oleh
masyarakat sekitar. Dimana semua lapisan masyarakat menjadi satu, bermpadu
dalam satu rombongan. Berjalan hingga sejauh 5 km. Dari padukuhan Jetis ke
kecamatan Godean. Dalam rombongan arak-arakan ini terdapat macam-macam oragan,
atau segmen. Ada penari jaipong, buto, pembawa patung raksasa, gunungan,
petani-petani, serta rombongan anak-anak dari TK Nurul Iman yang berlokasi di
dusun Jetis.
Makna dari merti desa yang di lakukan di padukuhan jetis ini
menurut Bapak Sumarjono, S.H selaku kepala desa Sidoagung yaitu ungkapan rasa
syukur, ungkapan pengharapan, dan ungkapan persaudaraan. Dimana rasa syukur itu
di tujukan kepada Tuhan YME, yang telah memberikan begitu banyak limpahan
rejeki selama tahun 2013 ini. Ungkapan pengharapan yang tersirat dalam kegiatan
Budaya ini yaitu akan adanya kebaikan yang lebih di waktu-waktu mendatang dan
perginya hal-hal buruk yang masih menaungi masyarakat dusun jetis ini, yang di
simbolkan patung buto ijo. Lalu ungkapan persaudaraan yang di maksudkan oleh
masyarakat jetis yaitu adanya gotong royong, saling toleran, guyup rukun antar
masyarakat dusun jetis sendiri.
Acara merti desa ini mempunyai beberapa tahap. Yang pertama
iyalah pengumpulan makanan berupa sego gurih yang di kumpulkan di
dalam masjid. Lalu oleh pemuka adat setempat di-doani , lalu di bawa
dengan menggunakan tandu yang terbuat dari bambu dan berhiaskan daun kelapa
muda atau janur. Lalu diarak menuju kecamatan Godean bersama dengan arak-arakan
yajng lain. Seperti buto ijo, dan gunungan. Arak-arakan sepanjang 100 meter,
yang di ikuti oleh ±225 warga menjadi sebuah tonotnan tersendiri. Suara
gamelan, alat musik tradisionalm drumband, menjadi sangat indah dan menymbolkan
banyaknya kebudayaan di Indonesia.
Di pengujung acara, sedekah yang diujudkan dalam bentuk
gunungan berikut sesajian dan beragam ubo rampe itu akan dibagikan
kepada seluruh warga desa serta siapa pun yang hadir. Kadang, prosesi pembagian
sedekah ini sengaja dilakukan dengan cara diperebutkan, sehingga menghadirkan
atraksi yang begitu meriah sebagaimana yang berlangsung dalam Upacara Garebeg.
Lalu pada malam harinya diadakan tonotnan wayang untuk
dinikmati warga dusun jetis dan sekitarnya, bertempat di depan rumah perangkat
desa setempat (Dukuh). Selama satu malam suntuk. Acara ini bukan hanya sebagai
simbolisasi tradisi, melainkan pengenalan budaya kepada masyarakat dan anak
muda. Sehingga kebudayaan ini tetap lestari dan tetao menjadi bagian dari
kebudayaan nasional (Bapak sumardjo, wawancara ketua panitia merti desa jetis,
27 desember 2013 pukul 20:10). Selain untuk pengenalan, acara merti desa
seperti ini juga bermanfaat bagi warga itu sendiri, dengan adanya wayangan maka
akan ada masyarakat dusun sekitar yang ikut menonton, sehingga bisa membuka
lapangan bisnis untuk warga itu sendiri.
Selain menjadi perujudan rasa syukur, upacara merti desa
acapkali juga terkait dengan ritual penghormatan kepada leluhur, sehingga
menghadirkan berbagai ritual simbolik terkait dengan tokoh dan riwayat yang
diyakini menjadi cikal bakal keberadaannya. Semuanya dilakukan dengan tetap
memanjatkan doa dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa demi keselamatan,
ketentraman, kesejahteraan dan keselarasan hidup seluruh warga desa.
Silaturahmi, guyub, rukun, gotong royong, kebersamaan,
keakraban, tepa selira dan harmonis adalah sebagian dari sederetan
kosakata yang begitu tepat dan saling menjalin makna saat menggambarkan
bagaimana suasana yang terpancar dari berlangsungnya tradisi merti desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar