Covid-19 atau Corona. Nama ini menjadi trending topic kisaran setahun ini. Sampai-sampai setiap disebut namanya, membuat tegang seluruh urat saraf dan persendian. Begitu sakral namanya untuk diperbincangkan. Bahkan masyarakat memberi label negatif kepada Si Penderita dan mengucilkannya.
Ketika tersebar kabar bahwa seseorang dinyatakan terkena covid, sejurus kemudian setiap orang langsung berpikir tentang pembawa, tertular, dan meninggal. Maka yang harus dilakukan sering cuci tangan, jaga jarak, memakai masker, hindari kerumunan, membawa disenfektan, tidak keluar rumah, dan seterusnya. Begitulah gambaran sekelompok orang.
Namun, dikelompok yang lain gambaran itu tidak tampak sedikitpun. Kelompok yang satu ini tak begitu ambil pusing dengan keberadaan Si Corona. Apapun beritanya dan yang terjadi, mereka tidak peduli, bahkan jika ada yang sampai meninggal sekalipun. Itu memang sudah takdir, begitulah katanya. Kelompok ini, kalau boleh menamainya, adalah kelompok kontra corona. Begitu kontras pemandangan diantara keduanya.
Awal-awal merebaknya corona tiap orang dibuatnya kalang kabut. Seluruh urat saraf yang dimiliki manusia sangat tegang. Semua lini kehidupan lumpuh seketika, akibat sapaannya. Berbagai istilah baru saling tumpang tindih, yang menambah susunan saraf tiap orang makin tertarik hebat. Keadaan semakin “gawat” ketika satu daerah melakukan tindakan “mengunci diri”. Dan tentunya kita tahu, ketika satu daerah/tempat melakukan demikian, bak angin spoi yang berubah seketika menjadi badai, secara masif tempat lain menirunya. Memang sangat mengerikan.
Kegawatan semakin menjadi jadi ketika masyarakat beranggapan bahwa terserang corona sama dengan hal yang memalukan. Memalukan, sebab masyarakat mengucilkan (baca: menjauhi). Sebenarnya tidak ada yang salah untuk “menjaga jarak” dengan si penderita. Tapi praktiknya, masyarakat malah mengucilkan Si Penderita, inilah yang kemudian menjadikan corona adalah sesuatu yang harus disembunyikan ketika hasil tes mengatakan positif.
Karena merupakan sesuatu yang harus disembunyikan, maka seorang pasien enggan melakukan tracking. Sebab, ia akan dijadikan ‘sasaran’ dan cap sebagai penyebar virus ini. Tidak tahu yang menyebarkan kali pertama siapa dan dari mana, tapi tahu-tahu sudah menyebar dan tertanam begitu kuat dalam masyarakat.
Sejak awal nakes memberi penekanan bahwa covid bukanlah hal yang tabu atau memalukan, maka kejujuran dari pasien sangatlah penting. Ketidakjujuran menyebabkan upaya pengendalian virus sulit dikendalikan dan malah membawa kasus baru diberbagai lini kehidupan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam Kompas.com (21/02/2020), berharap masyarakat untuk jujur dan tidak menutupi kondisinya demi kebaikan semua pihak. Sebab kejujuran pasien akan membawa kebaikan bagi semua pihak.
Pemerintahpun sudah mengeluarkan aturan tentang hal ini. Kewajiban pasien untuk jujur telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit menular. Bahkan dalam undang-undang ini termuat pula sanksi bagi pelanggarnya, yang tertuang pada BAB VII Ketentuan Pidana Pasal 14.
Sebenarnya berbagai pihak telah berupaya untuk mencegah anggapan yang keliru ini. Seperti yang diungkapkan oleh Dra. Mira Amir, Psikolog Anak dan Keluarga, ketika hadir dalam talkshow "Menghapus Stigma Pasien COVID-19" di Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Graha BNPB Jakarta, pada 9 Oktober 2020, "Kalau kita menutupi berarti sedih sendiri. Sebaliknya kalau kita jujur dan senang itu setengah menuju kesembuhan".
Nampaknya stigma tentang corona dan penderita, dalam waktu belakangan semakin melebur. Tidak begitu terasa seperti sebelumnya. Bahkan banyak broadcast beredar di medsos dan WA. Seruan tentang berita yang terkait virus, cara mencegah, cara bersinggungan dengan si penderita, bahkan berbagai obat yang dapat ditempuh bagi yang sehat maupun yang terpapar.
Bagi eks-penderita, sekarang ini malah dicari-cari. Bisa menjadi pahlawan bagi lainnya. Sebab, menurut penelitian dengan menyumbangkan plasma darahnya, dapat menolong nyawa orang lain. Seperti yang dikatakan Suhara, Kepala Unit Donor Darah (UDD) Palang Merah Indonesia (PMI) Tangsel (tangerangnews.com. terbit: 2 Desember 2020).
Beberapa waktu belakangan, tak sedikit yang mencari para alumni ini. Berbagai pesan berantai yang diteruskan dari satu orang ke orang lain, pesan antar grup, dan status seseorang di media sosial. Hal ini tentunya bisa menjadi oasis bagi mantan penghuni ruang isolasi. Bahkan dia bisa menjadi super hero ditengah pandemi.
Ketika seseorang yang jelek itu, adalah penyembuh bagi yang lainnya. Apakah masih pantas memberikan stigma kepada penderita? Bukankah manusia ditakdirkan untuk saling menolong dan saling melengkapi?
Akhirnya, tentu ada hal positif yang dapat diambil dalam perjalanan Sang Virus. Pelajaran bahwa pendakwaan atau pelabelan negatif terhadap seseorang bukanlah suatu hal yang bisa dianggap baik. Sebab, biasanya, pelabelan itu tak berdampak positif bagi yang lain. Tak selamanya hitam itu pekat, dan tak selamanya putih itu suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar